Apa Itu Makruh
Makruh menurut bahasa mempunyai arti :perkara yang di
benci.
Sedangkan makruh menurut istilah adalah : “ sesuatu
yang akan mendaptakan pahala jika di tinggalkan dengan tujuan mematuhi perintah
Allah dan tidakakan di siksa jika di kerjakan”.
Para ulama Mutaqodimin, tidak membedakan antara makruh
dan khilaful – aula.Sedangkan menurut ulama mutaakhirin pengertian khilaful –aula adalah : “ sesuatu yang dianjurkan untuk di tinggalkan, namun tidak berdasarkan
larangan secara jelas, seperti ; anjuran untuk tidak meninggalkan perkara-perkara
sunah, yang di faham dari perintah untuk melaksanakanya, karena memerintahkan sesuatu
berarti melarang kebaikan”.
Shohih di liat dari sudut pandang sebagai yang sah, adalah
: sesuatu yang di anggap telah berhasil ( nufudz) dan mencukupi , dengan gambaran
sudah memenuhi apa-apa yang di syaratkan oleh syara’, baik berupa akad maupun ibadah.
Shohih menurut bahasa mepunyai arti :sesuatu yang
selamat. Sedangkan shohih menurut isitlah adalah :“ Sesuatu yang di anggap telah
berhasil kepada tujuan ( nufudz) dan mencukupi.,sesuatu , baik berupa ibadah maupun
akad, sudah di anggap berhasil dan mencukupi, apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan
syara’ , yakni memenuhi syarat dan rukunnya. Misalnya : yaitu apabila seseorang
mengerjakan sholat dan sudah memenuhi syarat rukunya, maka sholatnya di
nyatakan sah ( shohih ). Dengan demikian sholat tersebut telah mencukupi untuk menggugurkan
kewajiban.
Contoh lain :Akad nikah atau jual beli, dihukumi sah (
shohih ), apabila telah memenuhi syarat dan rukun yang telah di tetapkan syara’.
Pengertian Nufudz adalah :sampai kepada tujuan. (
keberhasilan )”.
Jika akad jual beli sudah dinyatakan sah, berarti kedua
belah pihak melakukan akad, telah sampai kepada tujuan jual beli( Nufudz ),
yaitu memiliki barang atau uang yang di inginkan.
Demikian juga, apabila akad nikah sudah dinyatakan sah,
maka kedua belah pihak telah pada sampai tujuan pernikahan( nufudz), yakni di
perbolehkan bersenang-senang dengan istri.
Sunah, Mandub, Mustahabb, Ikhsan, Al-Muroghob, Fiih,
Al-Aula, An-Naflu, Al-Muhtahsan dan tathowu’ merupakan kata-kata murodif yang
mempunyai pengertian yang sama.
مَايُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ
عَلَى تَرْكِهِ
“ Suatu perkara yang mendapatkan pahala jika di
kerjakan dan tidak mendapat siksa bila di tinggalkan”.
Orang yang mengerkan suatu perkara sunah tidak harus mendapatkan
pahala, namun berhak atas semua pahala.Oleh karena itu, terkadang ada juga
orang yang mengerjakan perkara sunah, namun tidak mendapat pahala, seperti
orang yang beramal karena riya’, tidak ikhlas karena Allah.
Mengerjakan sholat sunah di atas tempat ghoshoban, di
lihat dari sisi ibadahnya tetap mendapat pahala, meskipun pada akhirnya pahala tersebut
hilang, di sebabkan perkara diluar ibadah, yakni perbuatan ghoshob yang di haramkan
oleh syara’.
Al_qodli Husain, membedakan antara istilah Sunah,
Mustahabb dan Tathowwu’ sebagai berikut :
Suatu perbuatan jika dilakukan oleh Nabi Saw, secara terus
menerus di sebut as-sunnah, atau tidak terus menerus, namun hanya di kerjakan sekali
atau dua kali di sebut Al-Mustahabb, atau sama sekali nabi belum pernah mengerjakanya
contoh doa-doa yang di kerjakan para ulama maka di sebut at-tathowwu’.
Sunah terbagi menjadi dua :
Sunah Ain :
“ perkara sunah yang tuntutanya di tujukan kepada
orang tertentu, seperti mengucapkan salam yang di tuntut untuk di ucapkan olehs
atu orang saja ( ketika tidak bersamaan dengan orang lain ).
Mubah di lihat dari sudut pandang sebagai perkara mubah,
adalah perkara yang tidak berpahala dan tidak di siksa, ketika dikerjakan atau
di tinggalkan. Artinya tidak terkait dengan pahala atapun siksa ketika dikerjakan
atau di tinggalkan.
Mubah juga di sebut dengan isitilah Jaiz atau Halal. Mubah
adalah sesuatu yang tidak ada hubunganya dengan pahala atau siksa, ketika di
kerjakan atau di tinggalkan.Namun demuikian ,ketika perkara mubah di niati untuk
taat kepada Allah, juga akan mendapat pahala, seperti makan, minum atau tidur,
dengan niat agar kuat untuk beribadah. Sebagaimana di katakana Ibnu Ruslan :Barang siapa ketika makan,
berniat mendapat kekuatan untuk ibadah kepada Allah, maka ia akan mendapatkan pahala
sesuai apa yang menajadi niatnya.
Al-Mahdhur diliat dari sudut pandang sebagai perkara
yang di haramkan, adalah suatu perkara yang jika di tinggalakan dengan niat mematuhi
perintah Allah, akan mendapat pahala dan jika di kerjakan akan disiksa.
Al-Madhur juga di sebut dengan isitlah :Muharrom,
haram, Dzanbu ( dosa ), MajrurAnhu, Mutawa’ad Alaih dan Hajru.
Al-Mandhuradalah“ suatu perkara yang jika di
tinggalkan dengan niat mematuhi perintah Allah, akan mendapat pahala dan jika
di kerjakanakan mendapat siksa.
Makruh Tahrim juga tercakup dalam definisi Haram,
karena makruh tahrim jika di kerjakan akan mendapat siksa dan jika di
tinggalkan akan mendapat pahala.
Hanya saja para ulama sedikit membedakan antara Haram
danMakruhTahrim sebagai berikut :
“ Haramadlahasesuatu yang di larang berdasarkan dalil qoth’i
yang tidak menerima untuk di takwil dengan pengertian lain”.
Makruh Tahrim adalah“ sesuatu yang dilarang dengan berdasarkan
dalil yang masih bisa di takwili dengan pengertian yang lain”.
Sedangkan perbedaan Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim adalah
sebagaimana berikut :
“ Makruh Tanzih , Sesuatu perkara yang jika dilakukan tidak
akan disiksa”.
Makruh Tahrim, Adalah suatu perkara yang
jikadilakukan, akan di siksa”.
Meninggalkan perkara haram atau makruh, bisa mendapatkan
pahala, apabila di sertai tujuan mematuhi perintah Allah,.Apabila karena takut atau
malu kepada manusia dst, maka tidak akan mendapat pahala, misalnya meninggalkan
perbuatan zina karena malu kepada manusia, meninggalkan perbuatan mencuri karena
takut ketahuan orang lain… dsb.
Berbeda dengan perkara wajib dan sunah, bagi orang
yang mengerjakanakan tetap mendapat pahal, meskipun tidak di sertai tujuan mematuhi
perintah Allah. Karena perkara wajib dan sunah ini bisa di anggap sah dan mencukupi
dari tuntutan taklif, jika dalam pelaksanaanya di sertai niat.Sedangkan meninggalkanya
perkara haram dan makruh untuk di anggap sah, tidak harus di sertai niat.
Namun demikian, ada juga sebagian dari perkara wajib
yang tidakharus di niati ,seperti ; memberikan nafkah kepad istri,
mengembalikan barang titipan .. dsb. Perkara wajib semacam ini, untuk bisa mendapatkan
pahala, harus disertai tujuan mematuhi perintah Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar