Senin, 04 Februari 2013

Penetapan Hukum Islam

Apa Itu Makruh
Makruh menurut bahasa mempunyai arti :perkara yang di benci.
Sedangkan makruh menurut istilah adalah : “ sesuatu yang akan mendaptakan pahala jika di tinggalkan dengan tujuan mematuhi perintah Allah dan tidakakan di siksa jika di kerjakan”.
Para ulama Mutaqodimin, tidak membedakan antara makruh dan khilaful – aula.Sedangkan menurut ulama mutaakhirin pengertian khilaful –aula adalah : “ sesuatu yang dianjurkan untuk di tinggalkan, namun tidak berdasarkan larangan secara jelas, seperti ; anjuran untuk tidak meninggalkan perkara-perkara sunah, yang di faham dari perintah untuk melaksanakanya, karena memerintahkan sesuatu berarti melarang kebaikan”.
Shohih di liat dari sudut pandang sebagai yang sah, adalah : sesuatu yang di anggap telah berhasil ( nufudz) dan mencukupi , dengan gambaran sudah memenuhi apa-apa yang di syaratkan oleh syara’, baik berupa akad maupun ibadah.

Shohih menurut bahasa mepunyai arti :sesuatu yang selamat. Sedangkan shohih menurut isitlah adalah :“ Sesuatu yang di anggap telah berhasil kepada tujuan ( nufudz) dan mencukupi.,sesuatu , baik berupa ibadah maupun akad, sudah di anggap berhasil dan mencukupi, apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan syara’ , yakni memenuhi syarat dan rukunnya. Misalnya : yaitu apabila seseorang mengerjakan sholat dan sudah memenuhi syarat rukunya, maka sholatnya di nyatakan sah ( shohih ). Dengan demikian sholat tersebut telah mencukupi untuk menggugurkan kewajiban.
Contoh lain :Akad nikah atau jual beli, dihukumi sah ( shohih ), apabila telah memenuhi syarat dan rukun yang telah di tetapkan syara’.
Pengertian Nufudz adalah :sampai kepada tujuan. ( keberhasilan )”.
Jika akad jual beli sudah dinyatakan sah, berarti kedua belah pihak melakukan akad, telah sampai kepada tujuan jual beli( Nufudz ), yaitu memiliki barang atau uang yang di inginkan.
Demikian juga, apabila akad nikah sudah dinyatakan sah, maka kedua belah pihak telah pada sampai tujuan pernikahan( nufudz), yakni di perbolehkan bersenang-senang dengan istri.
Sunah, Mandub, Mustahabb, Ikhsan, Al-Muroghob, Fiih, Al-Aula, An-Naflu, Al-Muhtahsan dan tathowu’ merupakan kata-kata murodif yang mempunyai pengertian yang sama.
مَايُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“ Suatu perkara yang mendapatkan pahala jika di kerjakan dan tidak mendapat siksa bila di tinggalkan”.
Orang yang mengerkan suatu perkara sunah tidak harus mendapatkan pahala, namun berhak atas semua pahala.Oleh karena itu, terkadang ada juga orang yang mengerjakan perkara sunah, namun tidak mendapat pahala, seperti orang yang beramal karena riya’, tidak ikhlas karena Allah.
Mengerjakan sholat sunah di atas tempat ghoshoban, di lihat dari sisi ibadahnya tetap mendapat pahala, meskipun pada akhirnya pahala tersebut hilang, di sebabkan perkara diluar ibadah, yakni perbuatan ghoshob yang di haramkan oleh syara’.
Al_qodli Husain, membedakan antara istilah Sunah, Mustahabb dan Tathowwu’ sebagai berikut :
Suatu perbuatan jika dilakukan oleh Nabi Saw, secara terus menerus di sebut as-sunnah, atau tidak terus menerus, namun hanya di kerjakan sekali atau dua kali di sebut Al-Mustahabb, atau sama sekali nabi belum pernah mengerjakanya contoh doa-doa yang di kerjakan para ulama maka di sebut at-tathowwu’.
Sunah terbagi menjadi dua :
Sunah Ain :
“ perkara sunah yang tuntutanya di tujukan kepada orang tertentu, seperti mengucapkan salam yang di tuntut untuk di ucapkan olehs atu orang saja ( ketika tidak bersamaan dengan orang lain ).
Mubah di lihat dari sudut pandang sebagai perkara mubah, adalah perkara yang tidak berpahala dan tidak di siksa, ketika dikerjakan atau di tinggalkan. Artinya tidak terkait dengan pahala atapun siksa ketika dikerjakan atau di tinggalkan.
Mubah juga di sebut dengan isitilah Jaiz atau Halal. Mubah adalah sesuatu yang tidak ada hubunganya dengan pahala atau siksa, ketika di kerjakan atau di tinggalkan.Namun demuikian ,ketika perkara mubah di niati untuk taat kepada Allah, juga akan mendapat pahala, seperti makan, minum atau tidur, dengan niat agar kuat untuk beribadah. Sebagaimana di katakana  Ibnu Ruslan :Barang siapa ketika makan, berniat mendapat kekuatan untuk ibadah kepada Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai apa yang menajadi niatnya.
Al-Mahdhur diliat dari sudut pandang sebagai perkara yang di haramkan, adalah suatu perkara yang jika di tinggalakan dengan niat mematuhi perintah Allah, akan mendapat pahala dan jika di kerjakan akan disiksa.
Al-Madhur juga di sebut dengan isitlah :Muharrom, haram, Dzanbu ( dosa ), MajrurAnhu, Mutawa’ad Alaih dan Hajru.
Al-Mandhuradalah“ suatu perkara yang jika di tinggalkan dengan niat mematuhi perintah Allah, akan mendapat pahala dan jika di kerjakanakan mendapat siksa.
Makruh Tahrim juga tercakup dalam definisi Haram, karena makruh tahrim jika di kerjakan akan mendapat siksa dan jika di tinggalkan akan mendapat pahala.
Hanya saja para ulama sedikit membedakan antara Haram danMakruhTahrim sebagai berikut :
“ Haramadlahasesuatu yang di larang berdasarkan dalil qoth’i yang tidak menerima untuk di takwil dengan pengertian lain”.
Makruh Tahrim adalah“ sesuatu yang dilarang dengan berdasarkan dalil yang masih bisa di takwili dengan pengertian yang lain”.
Sedangkan perbedaan Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim adalah sebagaimana berikut :
“ Makruh Tanzih , Sesuatu perkara yang jika dilakukan tidak akan disiksa”.
Makruh Tahrim, Adalah suatu perkara yang jikadilakukan, akan di siksa”.
Meninggalkan perkara haram atau makruh, bisa mendapatkan pahala, apabila di sertai tujuan mematuhi perintah Allah,.Apabila karena takut atau malu kepada manusia dst, maka tidak akan mendapat pahala, misalnya meninggalkan perbuatan zina karena malu kepada manusia, meninggalkan perbuatan mencuri karena takut ketahuan orang lain… dsb.
Berbeda dengan perkara wajib dan sunah, bagi orang yang mengerjakanakan tetap mendapat pahal, meskipun tidak di sertai tujuan mematuhi perintah Allah. Karena perkara wajib dan sunah ini bisa di anggap sah dan mencukupi dari tuntutan taklif, jika dalam pelaksanaanya di sertai niat.Sedangkan meninggalkanya perkara haram dan makruh untuk di anggap sah, tidak harus di sertai niat.
Namun demikian, ada juga sebagian dari perkara wajib yang tidakharus di niati ,seperti ; memberikan nafkah kepad istri, mengembalikan barang titipan .. dsb. Perkara wajib semacam ini, untuk bisa mendapatkan pahala, harus disertai tujuan mematuhi perintah Allah.
Judul: Penetapan Hukum Islam; Ditulis oleh Unknown; Rating Blog: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar