Sabtu, 02 Februari 2013

Ushul FIqh

Ilmu Ushul Fiqh

 
Penggagas “ Ushul Al-Fiqh” adalah Abu Abdilah Muhammad bin Idris Asyafi’i. Ide besar ini tertuang dalam kitabnya yang berjudul Arrisaalah. Disana di jelaskan dasar-dasar pemikiran yang berkaitan dengan ushul al-fiqh. Antara lain tentang ; Al-An-Nawaahi, Al-Bayaan, An-Naskh, AL-Illat, dan juga Al-Qiyaas.
Ushul Fiqh merupakan susunan idlofi yang terdiri dari dua bagian, yaitu mudhof ( lafadz ; أصول ) dan mudlof ilaih ( lafadz ; الفقه ). Masing-masing dari lafadz "USHUL" dan " al-fiqh" ini, sebelum di jadikan susunan Idlofi merupakan lafadz mufrod ( lafadz yang masih sendirian ; bukan berupa tarkib ) dan perlu di garis bawahi yang di makssud Mufrod di sini bukan Mufrod yang menjadi lawan Jama’, namun mufrod yang menjadi lawan Tarkib, karena ; lafadz ; أصول  jelas-jelas merupakan jama’ yang berasal dari Mufrod : أصول .
Ushul  ( الاصول   ) menurut lughot , memepunyai pengertian : “ sesuatu yang menjadi dasar / pangkal dari perkara lain. Contoh ada orang yang berkata : Ini adalah Ashl-nya tembok, berarti yang di maksud adalah pondasinya. Karena pondasi merupakan dasar atau pangkal dari tembok.
Ini adalah Ashl-nya pohon , berarti yang di maksudkan adalah akarnya : karena akar merupakan pangkal dari pohon.

Menurut istilah, al-ashl mempunyai  empat makna ;
A.      Bisa berarti dalil seperti ada orang yang berkata : Ashl dari masalah ini adalah al-Quran dan al-hadist. Berarti yang dimaksudkan adalah : dalil adri masalah ini al-quran dan al-hadist.
B.      Bias berarti kuat atau unggul seperti ada orang yang berkata ; Ashl dari kalam ini arti hakekatnya. Berarti : yang kuat atau unggul didalam memahami kalam adalah dengan melihat makan hakekatnya.
C.      Bisa berarti kaidah yang berlaku.  Seperti ada orang yang “ di perbolehkan memakan bangkai bagi orang yang trpaksa, termasuk melanggar kaidah yang berlaku.
D.      Bias berarti sesuatu yang di jadikan persamaan dalam peng-Qiyasan. Contoh : beras disamakan dengan gandum, dalam masalah ribawi. Beras dalam bab qiyas disebut dengan al-far’u ( masalah cabangan ) dan juga disebut al-Maqiis 9 masalah yang disamakan ). Sedangkan gandum disebut dengan isitilah al-ashlu ( pokok masalah ) dan juga disebut dengan al-maqiis ‘alaih ( masalah yang di jadikan persamaan ), dengan demikian kalau ada ornag mengatakan bahwa gandum adalah al-ashlu, berarti yang dimasksudkan ; gandum di jadikan persamaan dalam masalah hokum ribawi.
Adapun Al-Fiqh di tinjau dari lughot mempunyai arti : memahami. Sedangkan menurut Syara’ mempunyai pengertian : pengetahuan tentang hokum-hukum syar’iyyah yang di peroleh dengan jalan ijtihad. Semisal pengetahuan tentang ; niat di dalam wudhu di hukumi wajib, sholat witir di hukumi sunah, niat pada malam ahri menjadi syarat di dalam puasa  romadhon, zakat untuk hartanya anak kecil di hukumi wajib, zakat untuk harta perhaiasan yang boleh di pakai hukumnya tidak wajib, membunuh dengan benda tumpul  menetapkan qishash dan lains ebagainya … yakni terdiri dari masalah-masalh khilafiyyah. Berbeda dengan hokum hokum yang di peroleh dengan cari selainya ojtihad, seperti : pengetahuan tenatnag sholat lima waktu di hukumi wajib , brzina di hukumi haram dan lain sebagainya .. yakni maslah-maslah qoth’iyyah. Maka tidak bias disebut al-fiqh. Yang di masksud dengan al-ma’rifat di sini adalah al-ilmu dengan menggunakan dhonn ( dugaan ).
Penjelasan : Al-Ma’rifat yang terdapat dalam definisi al-fiqh, identic dengan al-ilmu dengan menggunakan arti : dhonn ( dugaan ) , bukan al-ilmu dengan menggunakan arti ; yakin. Sebab al-fiqh digali berdasarkan dzonn ( dugaan ) seorang mujtahid dengan bersumberkan dalil-dallil dzonni.
Untuk hukum-hukum yang berdasarkan dalil qoth’I 9 dalil yang tidak bias di ta’wil ) tidak masuk kategori al-Fiqh . seperti contoh tentang hokum shalat, hokum brzina dan lain-lain.
Kesimpulannya :
Hukum Qoth’i bukan termasuk bagian dari al-fiqh
Hukum al-fiqh berdasarkan dalil dhonni.
Dalam hukum-hukum fiqh tidak menutup kemungkinan adanya khilafiyyah ( perbedaan pendapat ), hal itu karena perbedaan dhonn ( dugaan ) dari masing-masing mujtahid.
Firman Allah terbagi menjadi dua bagian di antaranya :
1.       Hukum  Taklifi
2.       Hukum Wadl’i
Hukum Wadl’I atau Khitob Wadl’I adalah :
“ Hukum Allah yang berkaitan dengan suatu sebab, syarat, mani ( penghalang ), Shohih dan Fasid”
Hukum taklifi terbagi menjadi 7 bagian :
1.       Wajib
2.       Mandub / sunah
3.       Mubah
4.       Makruh tanzih
5.       Makruh tahrim
6.       Khilaful – Aula
7.       Haram
Sasaran hukum wadl’iy lebih luas dari pada hokum taklifi. Karena hokum wadl’I di berlakukan atas orang-orang mukalaf dan selainya orang-orang mukallaf. Seperti ; merusak barang milik orang lain, menyebabkan dolman ( harus mengganti ). Sabab yang berupa perusakan ini, di berlakukan secara umum, baik atas orang mukallaf maupun orang yang tidak mukalllaf. Maka dari itu, apabila ada anak kecil atau orang gila, merusak barang milik orang lain, maka berkewajiban untuk menggantinya.
Hukum Wadl’I terbagi menjadi lima yaitu :
1.       Syarat
2.       Sabab-musabab
3.       Mani’
4.       Shohih
5.       Fasid
Wajib di liat dari sudut pandang sebagai perkara wajib adalah “ sesuatu yang berpahala bila di kerjakan dan di siksa jika di tinggalkan”.
Wajib lebih mnegarah pada akibat hokum yang di timbulkan, yakni pahala dan siksa. Wajib menurut para ushuliyyin adalah :
“ sesuatu yang di tuntut dengan tuntuan yang mengharuskan”
Wajib dan fardu adalah dua kata murodif, yang mempunyai kesamaanpengertian. Hanya saja , dalam bab haji para ulama membedakan antara keduanya. Karena wajib dalam bab haji mempunyai pengertian “ sesuatu yang jika di tinggalkan harus di ganti dengan dam (denda )”.
Pahala yang di berikan Allah atas hambanya adalah semata-mata karena anugrah, bukan di sebabkan dzatiah amalnya. Demikain juga siksaan allah yang di timpakan atas para hambanya, merupakan keadilan dariNya. Bias jadi orang yang melakukan kewajiban atau kesunahan tidak mendapat pahala darinya. Demikian juga dengan yang meninggalkan kewajiban belum tentu mendapat siksa.
Ketika orang meninggalkan kewajiban tidak mendapatkan siksa atau orang yang melakukanya tidak menadapat pahala, apakah lantas Allah menginggkari janjinya ?. tidaklah demikian , karena yang di maksudkan dengan mendapat pahala atau siksa di sini adalah : “ berhak atas siksa atau pahala”, bukan suatu keharusan
Sebagaimana orang yang pandai berhak menjadi guru , namun tidak lantas semua orang yang pandai harus menjadi guru. Orang yang faqir berhak menerima zakat, namun tidak lantas seua orang faqir harus mendapatkan bagian zakat.
Tidak semua orang yang durhaka ( meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan ) di siksa oleh  Allah, namun jika hanya satu orang saja yang di siksa, sementara yang lainya mendapat pengampunan, sudahlah di anggap mewakili kepada yang lainya.
Judul: Ushul FIqh; Ditulis oleh Unknown; Rating Blog: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar